Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari
sisi kuantitas maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di
Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi sudah merupakan kejahatan yang
sangat luar biasa (extra ordinary
crimes).
Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah
yang sangat kompleks, bersifat sistemik, dan meluas. Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ PBB
secara luas mendefinisikan korupsi sebagai “missus
of (public) power for private gain”. Menurut CICP korupsi mempunyai dimensi
perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery), penggelapan (emblezzlement),
penipuan (fraud), pemerasan yang
berkaitan dengan jabatan (exortion),
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk
kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest, insider trading), nepotisme,
komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk
partai politik. Sebagai masalah dunia, korupsi sudah bersifat upaya pemberantasan dengan cara-cara yang
luar biasa (extra ordinary measure).
Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir
tanpa obat, menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan
budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri
Indonesia adalah perilaku korupsi. Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah,
sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum
semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi
dan sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan
sosial yang besar. Masyarakat tidak dapat menikmati pemerataan hasil
pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara
keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat
Indonesia.
Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan
mendalam (widespread and deep-rooted)
akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self destruction). Korupsi sebagai
parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon
itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa
di hisap.
Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas
melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent
needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari
bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi
diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kejahatan lintas
negara (trans national border crime),
dan mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang
dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) memerlukan kemiskinan. Pemberantasan tindak
pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari
masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin
merajarela.A. PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa
latin corruptio atau corruptus. Corruption berasal dari kata corrumpere,
suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption,
corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun
ke bahasa Indonesia yaitu korupsi (Andi Hamzah, 2005:4).
Pengertian
lain mengenai Korupsi adalah:
1. Korup berarti:
a. busuk;
palsu; suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1993)
b. buruk;
rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan
atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan
pribadi (Kamus Hukum, 2002)
2. Korupsi berarti:
a. kebejatan;
ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster
Dictionary, 1978)
b. penyuapan pemalsuan
(Kamus Bahasa Indonesia, 1993)
c. penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk
keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Hukum, 2002)
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan atau
merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala
salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatan- kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata)
untuk memperkaya diri sendiri. Dengan
pernyataan lain korupsi adalah adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara, dan teman.
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah
dirumuskan, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis,
pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan
delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negaara, tetapi
meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan
masyarakat atau orang perseorangan.
Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut
1.
Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2.
Kelompok delik penyuapan, baik aktif
(yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal
11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi).
3.
Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana
diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
1.
Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
2.
Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi).
3.
Kelompok delik yang berkaitan dengan
pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi)
B. CIRI-CIRI KORUPSI
Ciri-ciri
korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan lebih dari satu orang
2. Merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin
diraih
3. Berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan
tertentu
4. Berlindung di balik pembenaran hukum
5. Melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum
6. Mengkhianati kepercayaan
Kiat
memahami korupsi adalah dengan memahami pencurian dan penggelapan. Pencurian
(berdasarkan pemahaman pasal 362 KUHP) adalah perbuatan secara melawan hukum
mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud
memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan
pelaku.
Penggelapan
(berdasarkan pemahaman pasal 372 KUHP) adalah pencurian barang/hak yang
dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan
kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Korupsi
sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
pencurian dan penggelapan, hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.
Jadi
korupsi bisa kita pahami juga sebagai penggelapan yang mengakibatkan kerugian
negara.
C. PENYEBAB KORUPSI
Berikut adalah faktor-faktor penyebab
korupsi:
1.
Penegakan hukum tidak konsisten:
penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara,
selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
2.
Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut
dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
3.
Langkanya lingkungan yang antikorup:
sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4.
Rendahnya pendapatan penyelenggara
negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara
negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena
kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa, dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat
tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya
diringankan hukumannya.
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa bila
ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal
kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika.
D. AKIBAT DARI KORUPSI
Nye
menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
a.
Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap
penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
b.
ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan
oleh militer,menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
c.
pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan
kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah
ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,
memboroskan
sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama
perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah
dan tidak represif.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat
korupsi
diatas adalah sebagai berikut :
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadapperusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar